Sabtu, 22 September 2018

JK Haru is a Sex Worker in Another World Bahasa Indonesia Chapter 1 Part 1

Hal terlucu yang terjadi ketika aku datang ke dunia ini adalah ketika aku menertewai secara terbahak-bahak tentang bagaimana orang-orang di dunia ini menggunakan rumput sebagai alat kontrasepsi dan berkata, “Hahaha, apa kau sudah gila?”, dan Madam membalas, “Tidak sopan sekali,” dengan wajah kesal.

“Apa kau tidak pernah mendengar rumput luvya?” kata Madam. “Setiap herbalist di daerah ini membawa barang itu. Kau pasti berasal dari negeri yang sangat jauh dari kota, ya.”

Aku nggak percaya bahwa aku telah dipanggil ‘orang pedalaman’ oleh seseorang yang berasal dari dunia yang mana bukan hanya nggak ada internet, ponsel, ataupun smartphone saja, bahkan listrik atau mobil juga nggak ada. Untuk semua penduduk Tokyo, aku sesungguhnya enggan bilang begini … tapi sesungguhnya orang yang pedalaman itu sebenarnya dia.

Namun di dunia ini, tempat yang sedang kuhinggapi ini, rupanya disebut perkotaaan. Baru-baru ini, ada ras Orc yang menculik beberapa anak kecil, tapi kupikir kota ini adalah kota besar sehingga saat hal-hal semacam itu terjadi, banyak yang masa bodoh. Aku nggak pernah mendengar hal sekejam itu, kecuali di program The World’s Astonishing News, tapi setidaknya aku okein sajalah.

Tetap saja, mulai dari sekarang, aku harus beradaptasi dengan kehidupan orang-orang fantasy di sini. Kalau tidak, bisa-bisa akulah target mereka selanjutnya.

Kali ini nggak ada waktu untuk bercanda—aku harus memerhatikan perkataan Madam ini.

“Sebelum kau ngeseks sama pelanggan, ambil beberapa pasta lengket yang bisa dibuat dengan cara menghancurkan rumput tadi, kemudian masukkan itu kedalam punyamu. Satu jari saja sudah cukup. Setelah selesai melakukannya, hilangkan itu dengan air manimu, lalu bersihkan, dan ulangi kembali langkah ini sebelum mulai dengan pelanggan selanjutnya.”

Madam adalah seorang wanita cantik dan dewasa sehingga tak aneh memanggilnya Madam. Dan, dia juga elegan, kau pasti nggak bakal nyangka kalau dialah pemilik tempat pelacuran ini. Itu juga menggairahkan saat ia mengatakan ‘air mani’ seperti bukan apa-apa.

Bukannya berlebihan, namun saking terbiasanya dia menjelaskan proses tersebut, wajahnya nggak malu-malu atau semacamnya lagi.

Saat itulah aku tenggelam dalam pesonanya: ‘Anjir, aku benar-benar akan kerja jadi pelacur’

“Jika kau tak tau tentang kontrasepsi, apakah kau pernah ngeseks dengan pria sebelumnya?”
“Sudah, sekitar 10 kali-an.”
“Oh, ternyata kau sudah pengalaman walaupun masih semuda ini. Umurmu berapa?”
“S-embilan belas…? Hampir dua puluh, sih.”
“Kau tahu, kau tak perlu berbohong. Kami punya gadis umur 14 tahun yang bekerja di sini.”
“Oh, aku mengerti. Maaf, awalnya kupikir pekerjaan ini dilarang untuk usia dibawah 18 tahun.”

Kedua mata madam membesar.” Dan kau sudah ngeseks dengan 10 laki-laki walaupun sudah tahu begitu! Luar biasa, luar biasa,” dia tertawa kecil.

Sejujurnya, saat SMP, aku adalah seorang bodyguard seorang teman. Tetapi, aku terpaksa keluar karena ulah temanku tersebut. Dia yang sudah kupercayai itu, tiba-tiba mengkhianatiku atau kasarnya harus kukatakan, “Dia telah memakaiku.”

Mengesampingkan hal itu, aku hanya melakukan hal semacam itu dengan pacarku saja, dan aku bukan tipe orang yang suka selingkuh.

Meski demikian, kemungkinan besar aku telah tidur dengan lebih dari 10 pria, tapi eh … itu menyakitkan saat mencoba mengingat-ngingatnya lagi, jadi kupikir 10 saja sudah cukup.

Bagaimanapun juga, satu-satunya pekerjaan yang aku rasa mampu kulakukan saat tiba-tiba terlempar ke dunia antah berantah ini tidak lain hanyalah menjadi pelacur.

Nggak pernah terpikir di benakku aku akan melakukan hal semacam ini lagi, dan aku sebenarnya merasa sangat bersalah kepada Mama dan Papaku. Namun, kali ini terpaksa kulakukan karena menyangkut tentang kelanjutan hidupku. 

Dengan kata lain, aku tak punya pilihan lain.

“Baiklah. Kamu diterima. Kamu juga terlihat bakal jadi pelacur top. Selamat datang di Blue Cat Nocturne, Haru.”
“Senang mendengarnya…”
“Aku akan memperkanalkanmu kepada yang lainnya, tapi untuk sekarang cukup bantu bar yang ada di bawah dulu saja. Kau bisa mulai bekerja ketika kau sudah paham peraturan yang berlaku di sini.”
“Oke!”

Jadi begitulah, aku pun jadi pelacur di dunia lain ini.

Aku sungguh merindukan kehidupan SMA yang biasa kujalani, namun aku tiba-tiba mati lalu dikirim ke dunia ini. Aku belum mendengar apapun tentang cara agar bisa pulang ke dunia asalku, jadi untuk sementara, yang harus kulakukan cukup berusaha semampuku untuk bertahan hidup di sini.

Kehidupan gadis SMA, Haru Koyama pun dimulai di dunia layaknya sebuah permainan sampah otaku, dan anehnya lagi dia bertransformasi menjadi seorang pelacur.

 
Next Chapter 1 Part 2

JK Haru is a Sex Worker in Another World Bahasa Indonesia

 

[Rekor awal] 
'Kisah Haru Koyama yang tesesak-sesak oleh om-om yang perkasa.'

Ya, itu aku. Kau mungkin penasaran gimana caranya aku bisa berakhir di situasi ini. Itu bukan keinginanku, aku bisa jamin itu! Semuanya dimulai ketika teman sekelas bangsatku, Chiba, mencoba menyelamatkanku dari Truck-kun, namun justru kami berdua malah mati. Kan goblok banget!

Kemudian kami pun pergi ke Isekai, layaknya impian idiot otaku yang no life atau sejenisnya. 

Di lain pihak, si bangsat Chiba malah dapat skill cheat (jadi OP) dan untukku ... apa yang kudapatkan? Nggak ada! Beruntungnya, setidaknya aku bisa jadi pelacur. Bagaimanapun juga, aku harus menghasilkan uang--jadi karena terpaksa, aku pun harus menjalaninya.

Dunia ini memperlakukan perempuan lebih buruk dari dunia asalku, jadi semuanya berjalan ... keras. Namun, aku berhasil membuat pertemanan dengan beberapa perempuan, dan kalau saja aku bisa menyulap kebodohan Chiba dan meredam emosi kewanitaanku diatas kepentingan aneh-aneh yang diinginkan para pelanggan kepadaku, semuanya bakal berjalan lancar ... iya, kan? 

-----------------------------------------------------------------

Update seminggu sekali, atau sesuka hati translator :v Kalian juga bisa membaca full volume 1 dalam bentuk pdf berbahasa inggris di link ini 

Chapter 1 : JK Haru's Job Hunt

Senin, 25 Juni 2018

Web Novel PMYKB - Chapter 0

Sekarang ini, pemandangan di depan mataku sungguh indah nan mewah. Aku tak berbohong. Dari posisi ini, aku dapat melihat lantai cantik dengan keramik kayu, dinding berwarna putih dengan dekorasi minimalis, langit-langit berupa wallpaper artistik, jendela lebar bergorden manik-manik emas, serta berbagai macam perabotan kamar secukupnya dan barang-barang elektronik canggih seperti TV, AC, atau komputer. 

Bagiku, ini benar-benar megah. Aku bertanya-tanya apakah kamar ini sudah setara dengan kamar pada hotel bintang empat, belum ya? Entahlah, aku tak terlalu yakin—juga tak minat mencari tahu.

Tanpa tersadar mulutku mengeluarkan senyum kecil. Aku pun kemudian menegakkan punggungku dan bangkit dari posisiku yang sedang berbaring di atas kasur empuk berukuran double size ini. Karena posisiku sudah berubah, daerah jangkauan pandangku juga turut berganti. 

Disitulah aku baru menyadari ada satu fasilitas lain yang ketinggalan—yang mana juga kudambakan—untuk kusebutkan. Fasilitas itu tersusun rapi dan jumlahnya sangat banyak, serta hampir mendominasi seluruh ruangan seluas 17 m2 yang sedang kuhuni ini. Itu merupakan sepuluh set rak buku besar lengkap dengan buku-bukunya.

Sepuluh set, lho! 

Ini bukan masalah jumlahnya, tapi lebih kepada kapasitasnya.

Sepengalamanku, dalam satu setnya, rak tersebut dapat memuat hingga 80-100 buku. Jumlahnya bahkan mungkin dapat bertambah lagi kalau saja kumau bersusah payah menyusun rapi rak tersebut. Dengan kata lain, saat ini aku tengah dikelilingi oleh sekitar 1000 buku! Ini sudah layaknya perpustakaan, bukan?! Tidak, ini adalah harta karun!!

~Senangnya… aku seperti tenggelam dalam lautan buku-buku~

Sebenarnya aku bukannya ingin pamer, hanya saja aku sengaja memberitahukannya karena nikmat besar semacam ini patut ‘tuk disyukuri. Sebab untuk ukuran anak SMA sepertiku, kamar ini jelas merupakan sebuah kamar impian. Bahkan aku harusnya lebih bersyukur lagi mengingat bahwa sang pemilik kamar ini ternyata aku.

~Ya, cuman diriku!~

Namun bukan hal tersebut yang ingin kusampaikan. Yang jadi masalahnya, sejak kemarin aku sudah mendekam di kamar luas ini dan belum pernah keluar-keluar juga. Kehidupanku sebelum ini terjadi sebenarnya termasuk normal-normal saja—layaknya siswa SMA pada umumnya.

Aku tak dibully, ditindas, atau semacamnya hingga berakhir seperti ini. Aku punya beberapa teman, dan juga ikut kegiatan klub sekolah. Hubungan sosialku dengan lingkungan sekitar juga baik. Bahkan di sekolah, para guru menyanjungku.

Akan tetapi, kemarin aku mendadak mendapatkan sebuah kabar mengejutkan. Sebuah jawaban atas pertanyaan yang sudah lama kunanti-nanti. Aku sungguh tak mengira, aku benar-benar kaget. Sampai kemarin, aku selalu mencari-cari serta menunggu hingga berita ini tiba, namun setelah berhasil kudapatkan ternyata itu terlalu menyakitkan untuk didengar.

Orang-orang dekat selainku mungkin belum tahu kabar macam apa yang kuterima. Namun cepat atau lambat kuyakin mereka akan segera mengetahuinya. Apalagi, ditambah sikap aneh yang terjadi padaku dan kondisiku saat ini yang tengah mengurung diri, mereka mungkin akhirnya bakal curiga.  

Itu adalah Karin yang pertama kali mencoba mencariku dan bertanya. Dari luar pintu, adik perempuanku itu senantiasa memanggil-manggil supaya diriku lekas keluar kamar.

Aku mendengar perkataannya, tapi aku tak menghiraukannya. Aku ditanya berbagai hal olehnya, tapi aku tak menjawab satupun darinya.

Dia bilang dia menaruh makanan di depan pintu, tapi aku tak pernah mengambilnya. Dia bahkan mengancam akan membunuhku, tapi aku tak gentar dengan ancamannya.

Dan pada akhirnya dia pun berhenti melakukan semua hal itu. Aku tak tahu alasannya, mungkin ia kecewa sebab aku tak lagi mengacuhkannya. Karena sejak awal, hubungan kami berdua memang tak pernah akur.

Sebagai Kakak, sudah jelas aku sangat menyanyangi Karin. Aku mungkin akan membukakan pintu dan memeluknya jika itu cuman masalah sepele. Tapi maaf, yang kubutuhkan sekarang adalah kesendirian. Kuingin menggunakan beberapa waktu yang ada untuk menenangkan diri sejenak.

Terlalu lama mendekam di kamar tanpa kusadari turut mempengaruhi psikologis pengidapnya. Secara perlahan, pikiranku serasa bertambah kacau dari waktu ke waktu. Aku terlalu banyak berpikir, namun tak pernah mengungkapkannya. Aku terlalu banyak mengandai-ngandai, namun tak pernah mencoba menghadapi kenyataan.

Aku ini hanyalah anak SMA, tapi entah kenapa sekarang ini aku merasa seperti artis kondang atau pesulap. Aku seperti mempunyai sihir yang mampu memanipulasi pikiran orang hanya lewat kata-kata saja.

Oleh sebab itu, sebelum berakhir menjadi orang gila, setidaknya aku ingin mencoba jujur. Sejujurnya, alasan tentang adikku di atas itu hanya kubuat-buat saja. Alasan sebenarnya kenapa aku sejak kemarin tak pernah menghiraukan perkataan dia, ya mungkin karena aku sedikit membencinya, apalagi sifat menjengkelkannya itu.

Dia itu orangnya suka ngaduan.

Dikit-dikit ngadu … dikit-dikit Ayah … dikit-dikit Ibu… dikit-dikit Kakek-Nenek. Sembilan puluh sembilan persen dia pasti akan ngadu bahkan jika itu hanya berupa hal sepele belaka. Dan pada akhirnya pasti aku-lah yang bakal disalahkan. Aku hafal betul senyum mengejeknya saat aku sedang dimarahi oleh Ayah atau Ibuku.

Mungkin karena itulah aku tak membuka pintu untuknya.

“Apa semua adik (perempuan) itu menjengkelkan?”

Aku sempat memikirkan itu, karena selain suka ngadu, adikku itu juga termasuk cewek dengan mulut pedas, alias suka marah-marah enggak jelas. Dari dulu, kuingin sekali balas dendam barang satu kali saja padanya, namun apadaya diriku tak tega—lebih tepatnya aku tidak bisa.
Percaya atau tidak, sebetulnya aku-lah orang yang merencanakan agar hal semacam itu dapat terjadi, aku sudah mengaturnya, aku memang sengaja melakukannya, bahkan tanpa kusangka aku sudah berada di titik dimana aku berharap Karin atau Ibuku bakal memarahiku juga (eh, apa aku masokis?).

****

“Uwahahahaha.”

Tak terasa hari sudah beranjak gelap, saat kulihat ke luar jendela sambil tertawa memikirkan hal itu. Jam dinding kamar menunjukkan pukul 18.30. Aku pun segera menutup jendela, memasang tirai, dan menghidupkan lampu kamar. Karena sudah terbiasa dengan kegelapan, spontan kututup mataku saat silaunya lampu menerangi kamar. 

Karena ini sudah masuk malam hari, berarti sudah 1 hari 2 malam lamanya aku berada di kamar ini sejak terakhir kali aku menjalani hari-hari normalku. Jika diriku sedang tidak mendekam, saat ini biasanya aku tengah membantu Ibuku memasak untuk makan malam. Tapi jangankan untuk memasak, sekadar makan saja saat ini aku sungguh tak berselera. 

Sejujurnya, aku merasa seperti orang bodoh ketika merenungkan apa yang sudah kulakukan ini.

Yang kulakuan sejak kemarin itu hanyalah membaca buku. Di sini ada 1000 buku. Sejak aku menghuni kamar ini, aku sudah membaca 9 dari 10 rak buku yang tersedia, masih ada sekitar 100-an buku lagi yang belum selesai kubaca. Menjadi anak SMA itu ribet, banyak waktu berharga yang terkuras sia-sia. Oleh sebab itu, jika ada kesempatan, aku langsung memanfaatkannya untuk membaca buku.

Aku hanya menyukai novel dan beberapa buku pedoman, seperti resep memasak, pedoman mahir komputer atau yang sejenisnya. Aku tak terlalu rajin belajar, aku hanya belajar di sekolah. Di rumah, aku hanya membaca novel. Baru-baru ini, aku juga mulai membaca light novel karena ukurannya yang kecil, praktis, dan ceritanya yang sangat menarik.

Sembari membaca buku, ada satu hal lagi yang kulakukan. Sejak kemarin—dan semenjak mendapatkan kabar mengejutkan itu—aku terus dibuat pusing memikirkan kalimat permintaan maaf macam apa yang tepat untuk dikirimkan kepada seorang cewek.

Tentu saja, aku juga masih kaget dengan kabar mengejutkan yang kuterima sebelumnya. Namun, prioritasku sekarang adalah tentang perasaan ‘cewek’ tersebut. Aku harus secepatnya meminta maaf kepadanya dan meluruskan bibit masalahnya. Kepribadianku memang sedikit mendekati altruisme, sih.

Aku bukan teman ‘cewek itu’, juga bukan sahabat dekatnya, apalagi pacarnya. Kami berdua hanyalah murid satu SMA yang kebetulan biasa bersama di sebuah ruangan saja. Begitulah kesanku terhadapnya, aku yakin dia juga bakal berpikiran yang sama jika ditanya soal diriku.

Ketika aku hendak mengambil ponselku di atas meja belajar untuk mengecek ulang pesan yang kutulis untuknya, tiba-tiba ponselku bergetar.

Aku pun lalu berjalan ke arah meja, namun sesampainya di sana kudapatkan layar ponselku terdapat embun. Ini mungkin berasal dari AC. Saking tingginya pk AC di kamar ini, tampaknya membuat layar ponselku berembun. Mungkin karena dingin AC jugalah yang membuat diriku tadi ngantuk dan terlelap.

Segera kubersihkan embun tersebut dengan kain, lalu kembali tiduran di atas kasur.

Setelah bersih, kuperhatikan layar. Ternyata itu berupa telepon masuk.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika penelpon itu adalah ‘cewek itu’, tapi untungnya itu hanya telepon dari Ibu.

Namun teleponnya tak kuangkat, sengaja.

Saat ini ibuku sedang menemani Ayahku mengerjakan urusan bisnisnya di luar negeri. Jika kuhitung, itu sudah hampir satu bulan sembilan hari lamanya sejak hari kepergian mereka.

Seperti biasanya, jika ada telepon dari Ibu, paling-paling Ibu hanya akan menanyakan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. Semacam, “Kamu sudah makan belum, Nak?”, “Jangan lupa belajar, jangan main terus.”, “Tidur jangan sampai terlalu malam ya.” atau sejenisnya.

Bukannya aku sombong atau tidak peduli padanya, tapi aku hanya tak ingin ia tahu kondisiku sekarang. Ibuku itu mirip peramal, hanya dengan mendengar suara saja ia sudah langsung tahu bagaimana keadaanku. Jadi, kali ini aku memutuskan untuk tidak mengangkatnya agar tidak membuatnya khawatir. Sebagai gantinya, aku nanti akan mengirim pesan padanya dan mengatakan bahwa aku tadi tertidur.

Maafkan aku Ibu ….

Cukup lama Ibu mencoba menghubungiku. Butuh sekitar 20 menit hingga ia berhenti menelponku terus menerus. Setelah memastikan tidak ada telepon lagi, aku pun langsung mengecek pesan yang hendak kukirimkan untuk ‘cewek itu’.

Sebuah pesan yang agak panjang ….

Assalammu’alaikum, maaf mengganggu waktumu.
Ini aku … Aldini Raju, teman satu ekstrakulikulermu di sekolah.
Sengaja kusebutkan nama lengkapku, barang kali sampai sekarang kau belum tahu nama asliku karena kau keseringan memanggilku ‘omes’ alias otak mesum daripada nama asliku.
Sekali lagi maafkan aku jika aku menganggu waktumu hanya demi membaca pesanku ini.
Tapi, kau tahu … aku yang notabene jarang bermain kirim-kiriman pesan, khusus kali ini, ingin mengirimkan sebuah pesan. Pesan ini kutujukan hanya untukmu, sebuah pesan penting. Jadi tolong dengarkan.
Aku minta maaf. Tolong maafkan aku!
Itulah hal yang ingin kukatakan, tapi kau pasti binggungkan tiba-tiba mendapat ucapan tersebut tanpa tahu kejelasannya?
Sejujurnya aku juga binggung bagaimana menjelaskannya, tapi jika harus kukatakan ini semacam permintaan maaf karena perasaan bersalah.
Aku meminta maaf padamu karena aku merasa bersalah, benar-benar sangat bersalah. Aku sungguh menyesal.
Jadi, tolong maafkan aku!
Pertama, maafkan aku karena aku ingin keluar dari klub melepaskan segala tanggung jawabku sebagai bendahara secara sepihak. Karena kau adalah wakil ketuanya, jadi tolong sampaikan permohonanku ini kepada ketua. Kau tahu aku dan dia selalu bersitegang, tak mungkin bagiku berani mengatakan hal ini langsung padanya.
Kedua, maafkan aku karena tidak mampu meyakinkan channelku untuk mengangkat naskah kita untuk diadaptasi menjadi animasi. Itu adalah satu-satunya kesempatan untuk menunjukkan eksistensi klub kita. Kau layak menyalahkanku, tidak kau bahkan berhak memarahiku untuk hal tersebut.
Dan terakhir, maafkan aku … aku ingin kau pergi! Pergi jauh sana dan jangan pernah kembali! Jangan tampak di depan mataku lagi!
Begitulah. Tapi yang terakhir itu jelas tidak mungkin, kan? Secara, kita ini masih menghuni satu gedung yang sama.
Jadi sebagai gantinya, akulah yang akan pergi. Aku sudah berencana pindah sekolah ke luar negeri, sekaligus mempersiapkan kuliahku disana nanti.
Namun, sebelum itu biarkan aku sampaikan satu hal penting lainnya.
Satu hal inilah yang akan menjadi penutup serta kesimpulan dari pesanku ini.
Aku minta maaf karena sudah pernah menggunakanmu.
****
 
Oh tidak! Ketika kubaca ulang, aku baru sadar ternyata pesanku ini sangatlah memalukan, apalagi endingnya yang sangat ambigu itu. Aku bertanya-tanya, buku apa yang sedang kubaca saat menulis bagian endingnya itu? Aku sungguh tak bermaksud menyinggung hal-hal yang menyimpang.

Apa mungkin novel erotis berkedok romance, ya? Ah, tidak mungkin. Tapi jika memang itu betul, aku menyesal sudah pernah membacanya. Aku sudah tobat dari dunia kemesuman.

Baiklah, itu sudah tidak penting lagi. Lebih baik aku lekas menghapus pesan tersebut dan menyusun ulang kalimat yang tepat dan ‘normal’.

Itulah yang hendak kulakukan … tapi saat aku baru ingin mengurusnya, pintu kamarku tiba-tiba digedor-gedor kencang dari luar.

Satu hal yang pasti, jika melihat dari kekuatannya yang bertenaga, itu pasti bukanlah Karin yang menggedornya. Ayah dan Ibu, kan, sedang diluar, lantas jika bukan mereka terus siapa? Apakah itu orang luar? Seperti tetangga, Pak RT, atau bahkan … Polisi?

M-ana mungkinlah ….
Terus kalau bukan, siapa?
Aku tak ingin membayangkannya, tapi jangan bilang kalau itu ma-…maling?!  

Jika memang itu maling, lalu bagaimana bisa dia melewati Pak Satpam? Apa yang terjadi pada Si Mbok? Lalu Karin … bagaimana keadaannya? Apakah ia terluka?

Tanpa berpikir panjang, seketika aku langsung menuju ke pintu. Kubuka pintu kamar ini, dan pengait tambahannya yang sebelumnya kukunci rapat.

Setelah bunyi ‘klek’ tanda kunci pintu sudah terbuka, aku baru menyadari bahwa saat ini aku sedang tak memegang senjata. Yang kupunyai sekarang hanyalah ponsel yang berada di tangan kananku. Ini gawat, aku tak terlalu pandai dalam hal bela diri. Satu-satunya andalanku di saat seperti ini hanyalah stunt gun atau tongkat baseball saja.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah tidak sempat lagi menyiapkannya—juga lupa menaruhnya dimana. Aku harus menanggung apa yang sudah kuputuskan, serta menghadapinya.

Oke, datanglah maling! Sini lawan aku!

Dan ketika mentalku sudah kusiapkan, justru sekarang hatikulah yang sedang diuji.Ternyata orang yang menggedor-gedor kamarku ini adalah Ayahku. Aku bersyukur. Setidaknya itu bukanlah maling yang masuk ke rumah ini. Tapi bagaimana bisa? Apa yang Ayah lakukan di sini? Kenapa dia pulang cepat? Lalu dimana Ibu berada? 

“Kau memang anak yang tak berguna.”

Itu adalah perkataan Ayahku setelah satu bulan lamanya kita tidak bertemu. Tidak hanya itu, dia mengucapkan kalimat tersebut setelah terlebih dahulu menamparku pipiku.

Aku binggung mau menjawab apa, hatiku sangat terkejut, pipiku juga terasa perih. Bahkan jika aku sudah berumur 50 tahun, tindakan dan perkataan semacam itu kuyakin pasti masihlah membuat hati orang yang menerimanya terluka. Mungkin jika orang lemah yang mendengarnya bisa membuat mereka sampai menangis, tapi untungnya hatiku tidak selemah itu.

“Aku juga masih anak-anak, seorang anak SMA yang labil. Aku tak bisa terus menerus berpura-pura menjadi seorang dewasa yang bijaksana. Aku juga sesekali ingin menjadi anak SMA yang normal.”

“Sejak pertama sudah kubilang, saya sangat mengharapkanmu. Selama ini saya berlaku keras padamu karena saya ingin kau bermental baja. Saya ingin kau sukses, bukan menjadi lemah kayak begini. Jangan buat saya kecewa cuman karena gadis itu saja! Cepat lupakan cewek tak berguna itu, dan kembali hidup seperti biasa. Ini adalah perintah.”

“Cuman? Cewek gak berguna? Hah …kau tahu sendiri aku selalu menunggu dia 3 tahun lamanya. Aku sudah mencari keberadaannya kemana-mana. Aku … aku ini … benar-benar rindu dia, tapi ketika kuberhasil dapatkan kabarnya, ternyata ….”

“Sekarang kau sudah berani melawan, ya? Jauh-jauh saya balik ke Indonesia hanya karena dirimu, tapi kau justru tak tahu diri. Dasar anak tak berguna.”
Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba tangan kanan Ayah kembali ‘bermain’. Aku lagi-lagi digampar oleh Ayahku untuk kedua kalinya dalam kurun waktu yang singkat.  

Ah, kepalaku terasa pusing. Sepertinya saat aku digampar, tubuhku langsung oleng, kemudian terbentur pintu dan jatuh ke lantai. Aku pun terbujur lemas di atas lantai yang dingin. Mataku buram, telingaku samar-samar, kesadaranku perlahan menghilang. Aku seperti berada di ambang antara hidup dan mati (pingsan).

Oh iya, aku baru ingat. Aku belum makan apapun sejak kemarin. Perutku kosong, energi dalam diriku pun sudah tak tersisa lagi. Kupikir wajar jika aku berakhir dalam kondisi seperti itu.

Di saat-saat seperti ini, tiba-tiba kulihat Ibuku datang berjalan ke arahku. Ia memanggil-manggil namaku dengan keras. Sepertinya Ia mencoba tetap menjaga kesadaranku dengan menyahut-nyahut juga menepuk-nepuk pipiku.

Namun, tubuhku terlalu lemah untuk kembali sadar. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdiam diri menunggu diriku kehilangan kesadaran.
Aku menutup mataku, tapi aku belum juga pingsan. Sepertinya aku masih memiliki beberapa sisa energi untuk kugunakan. Tapi, apa yang harus kulakukan? Aku lantas memikirkan banyak hal. Kira-kira apa ya hal yang tepat untuk kupikirkan di sisa energiku yang ada ini?

“Aku belum mengirim pesan kepada dia.”

Betul, itulah yang sejak kemarin menjadi tujuanku.

Namun, ketika baru saja ingin mengirimnya, aku sudah pingsan duluan.