Sekarang ini,
pemandangan di depan mataku sungguh indah nan mewah. Aku tak berbohong. Dari
posisi ini, aku dapat melihat lantai cantik dengan keramik kayu, dinding berwarna
putih dengan dekorasi minimalis, langit-langit berupa wallpaper artistik,
jendela lebar bergorden manik-manik emas, serta berbagai macam perabotan kamar
secukupnya dan barang-barang elektronik canggih seperti TV, AC, atau komputer.
Bagiku, ini benar-benar
megah. Aku bertanya-tanya apakah kamar ini sudah setara dengan kamar pada hotel
bintang empat, belum ya? Entahlah, aku tak terlalu yakin—juga tak minat mencari
tahu.
Tanpa tersadar mulutku
mengeluarkan senyum kecil. Aku pun kemudian menegakkan punggungku dan bangkit dari
posisiku yang sedang berbaring di atas kasur empuk berukuran double size
ini. Karena posisiku sudah berubah, daerah jangkauan pandangku juga turut berganti.
Disitulah aku
baru menyadari ada satu fasilitas lain yang ketinggalan—yang mana juga
kudambakan—untuk kusebutkan. Fasilitas itu tersusun rapi dan jumlahnya sangat
banyak, serta hampir mendominasi seluruh ruangan seluas 17 m2 yang
sedang kuhuni ini. Itu merupakan sepuluh set rak buku besar lengkap dengan
buku-bukunya.
Sepuluh set, lho!
Ini bukan masalah
jumlahnya, tapi lebih kepada kapasitasnya.
Sepengalamanku, dalam
satu setnya, rak tersebut dapat memuat hingga 80-100 buku. Jumlahnya bahkan mungkin
dapat bertambah lagi kalau saja kumau bersusah payah menyusun rapi rak tersebut.
Dengan kata lain, saat ini aku tengah dikelilingi oleh sekitar 1000 buku! Ini
sudah layaknya perpustakaan, bukan?! Tidak, ini adalah harta karun!!
~Senangnya… aku seperti
tenggelam dalam lautan buku-buku~
Sebenarnya aku bukannya
ingin pamer, hanya saja aku sengaja memberitahukannya karena nikmat besar semacam
ini patut ‘tuk disyukuri. Sebab untuk ukuran anak SMA sepertiku, kamar ini
jelas merupakan sebuah kamar impian. Bahkan aku harusnya lebih bersyukur lagi mengingat
bahwa sang pemilik kamar ini ternyata aku.
~Ya, cuman
diriku!~
Namun bukan hal tersebut
yang ingin kusampaikan. Yang jadi masalahnya, sejak kemarin aku sudah mendekam
di kamar luas ini dan belum pernah keluar-keluar juga. Kehidupanku sebelum ini terjadi
sebenarnya termasuk normal-normal saja—layaknya siswa SMA pada umumnya.
Aku tak dibully,
ditindas, atau semacamnya hingga berakhir seperti ini. Aku punya beberapa teman,
dan juga ikut kegiatan klub sekolah. Hubungan sosialku dengan lingkungan
sekitar juga baik. Bahkan di sekolah, para guru menyanjungku.
Akan tetapi, kemarin
aku mendadak mendapatkan sebuah kabar mengejutkan. Sebuah jawaban atas pertanyaan
yang sudah lama kunanti-nanti. Aku sungguh tak mengira, aku benar-benar kaget.
Sampai kemarin, aku selalu mencari-cari serta menunggu hingga berita ini tiba,
namun setelah berhasil kudapatkan ternyata itu terlalu menyakitkan untuk didengar.
Orang-orang dekat
selainku mungkin belum tahu kabar macam apa yang kuterima. Namun cepat atau
lambat kuyakin mereka akan segera mengetahuinya. Apalagi, ditambah sikap aneh
yang terjadi padaku dan kondisiku saat ini yang tengah mengurung diri, mereka
mungkin akhirnya bakal curiga.
Itu adalah Karin
yang pertama kali mencoba mencariku dan bertanya. Dari luar pintu, adik
perempuanku itu senantiasa memanggil-manggil supaya diriku lekas keluar kamar.
Aku mendengar
perkataannya, tapi aku tak menghiraukannya. Aku ditanya berbagai hal olehnya,
tapi aku tak menjawab satupun darinya.
Dia bilang dia
menaruh makanan di depan pintu, tapi aku tak pernah mengambilnya. Dia bahkan mengancam
akan membunuhku, tapi aku tak gentar dengan ancamannya.
Dan pada akhirnya
dia pun berhenti melakukan semua hal itu. Aku tak tahu alasannya, mungkin ia kecewa
sebab aku tak lagi mengacuhkannya. Karena sejak awal, hubungan kami berdua
memang tak pernah akur.
Sebagai Kakak, sudah
jelas aku sangat menyanyangi Karin. Aku mungkin akan membukakan pintu dan
memeluknya jika itu cuman masalah sepele. Tapi maaf, yang kubutuhkan sekarang
adalah kesendirian. Kuingin menggunakan beberapa waktu yang ada untuk
menenangkan diri sejenak.
Terlalu lama
mendekam di kamar tanpa kusadari turut mempengaruhi psikologis pengidapnya.
Secara perlahan, pikiranku serasa bertambah kacau dari waktu ke waktu. Aku
terlalu banyak berpikir, namun tak pernah mengungkapkannya. Aku terlalu banyak
mengandai-ngandai, namun tak pernah mencoba menghadapi kenyataan.
Aku ini hanyalah
anak SMA, tapi entah kenapa sekarang ini aku merasa seperti artis kondang atau
pesulap. Aku seperti mempunyai sihir yang mampu memanipulasi pikiran orang
hanya lewat kata-kata saja.
Oleh sebab itu,
sebelum berakhir menjadi orang gila, setidaknya aku ingin mencoba jujur.
Sejujurnya, alasan tentang adikku di atas itu hanya kubuat-buat saja. Alasan
sebenarnya kenapa aku sejak kemarin tak pernah menghiraukan perkataan dia, ya
mungkin karena aku sedikit membencinya, apalagi sifat menjengkelkannya itu.
Dia itu orangnya
suka ngaduan.
Dikit-dikit ngadu
… dikit-dikit Ayah … dikit-dikit Ibu… dikit-dikit Kakek-Nenek. Sembilan puluh
sembilan persen dia pasti akan ngadu bahkan jika itu hanya berupa hal sepele belaka.
Dan pada akhirnya pasti aku-lah yang bakal disalahkan. Aku hafal betul senyum
mengejeknya saat aku sedang dimarahi oleh Ayah atau Ibuku.
Mungkin karena
itulah aku tak membuka pintu untuknya.
“Apa semua adik (perempuan)
itu menjengkelkan?”
Aku sempat
memikirkan itu, karena selain suka ngadu, adikku itu juga termasuk cewek dengan
mulut pedas, alias suka marah-marah enggak jelas. Dari dulu, kuingin sekali balas
dendam barang satu kali saja padanya, namun apadaya diriku tak tega—lebih
tepatnya aku tidak bisa.
Percaya atau
tidak, sebetulnya aku-lah orang yang merencanakan agar hal semacam itu dapat
terjadi, aku sudah mengaturnya, aku memang sengaja melakukannya, bahkan tanpa
kusangka aku sudah berada di titik dimana aku berharap Karin atau Ibuku bakal memarahiku
juga (eh, apa aku masokis?).
****
“Uwahahahaha.”
Tak terasa hari sudah
beranjak gelap, saat kulihat ke luar jendela sambil tertawa memikirkan hal itu.
Jam dinding kamar menunjukkan pukul 18.30. Aku pun segera menutup jendela,
memasang tirai, dan menghidupkan lampu kamar. Karena sudah terbiasa dengan
kegelapan, spontan kututup mataku saat silaunya lampu menerangi kamar.
Karena ini sudah
masuk malam hari, berarti sudah 1 hari 2 malam lamanya aku berada di kamar ini sejak
terakhir kali aku menjalani hari-hari normalku. Jika diriku sedang tidak
mendekam, saat ini biasanya aku tengah membantu Ibuku memasak untuk makan
malam. Tapi jangankan untuk memasak, sekadar makan saja saat ini aku sungguh
tak berselera.
Sejujurnya, aku merasa seperti orang bodoh ketika merenungkan
apa yang sudah kulakukan ini.
Yang kulakuan sejak
kemarin itu hanyalah membaca buku. Di sini ada 1000 buku. Sejak aku menghuni
kamar ini, aku sudah membaca 9 dari 10 rak buku yang tersedia, masih ada
sekitar 100-an buku lagi yang belum selesai kubaca. Menjadi anak SMA itu ribet,
banyak waktu berharga yang terkuras sia-sia. Oleh sebab itu, jika ada
kesempatan, aku langsung memanfaatkannya untuk membaca buku.
Aku hanya menyukai
novel dan beberapa buku pedoman, seperti resep memasak, pedoman mahir komputer
atau yang sejenisnya. Aku tak terlalu rajin belajar, aku hanya belajar di
sekolah. Di rumah, aku hanya membaca novel. Baru-baru ini, aku juga mulai
membaca light novel karena ukurannya yang kecil, praktis, dan ceritanya
yang sangat menarik.
Sembari membaca
buku, ada satu hal lagi yang kulakukan. Sejak kemarin—dan semenjak mendapatkan
kabar mengejutkan itu—aku terus dibuat pusing memikirkan kalimat permintaan maaf
macam apa yang tepat untuk dikirimkan kepada seorang cewek.
Tentu saja, aku juga
masih kaget dengan kabar mengejutkan yang kuterima sebelumnya. Namun,
prioritasku sekarang adalah tentang perasaan ‘cewek’ tersebut. Aku harus
secepatnya meminta maaf kepadanya dan meluruskan bibit masalahnya. Kepribadianku
memang sedikit mendekati altruisme, sih.
Aku bukan teman
‘cewek itu’, juga bukan sahabat dekatnya, apalagi pacarnya. Kami berdua hanyalah
murid satu SMA yang kebetulan biasa bersama di sebuah ruangan saja. Begitulah
kesanku terhadapnya, aku yakin dia juga bakal berpikiran yang sama jika ditanya
soal diriku.
Ketika aku hendak
mengambil ponselku di atas meja belajar untuk mengecek ulang pesan yang kutulis
untuknya, tiba-tiba ponselku bergetar.
Aku pun lalu berjalan
ke arah meja, namun sesampainya di sana kudapatkan layar ponselku terdapat
embun. Ini mungkin berasal dari AC. Saking tingginya pk AC di kamar ini,
tampaknya membuat layar ponselku berembun. Mungkin karena dingin AC jugalah
yang membuat diriku tadi ngantuk dan terlelap.
Segera kubersihkan
embun tersebut dengan kain, lalu kembali tiduran di atas kasur.
Setelah bersih,
kuperhatikan layar. Ternyata itu berupa telepon masuk.
Aku tak tahu apa
yang harus kulakukan jika penelpon itu adalah ‘cewek itu’, tapi untungnya itu hanya
telepon dari Ibu.
Namun teleponnya tak
kuangkat, sengaja.
Saat ini ibuku
sedang menemani Ayahku mengerjakan urusan bisnisnya di luar negeri. Jika
kuhitung, itu sudah hampir satu bulan sembilan hari lamanya sejak hari kepergian
mereka.
Seperti biasanya,
jika ada telepon dari Ibu, paling-paling Ibu hanya akan menanyakan pertanyaan
yang sama seperti sebelumnya. Semacam, “Kamu sudah makan belum, Nak?”, “Jangan
lupa belajar, jangan main terus.”, “Tidur jangan sampai terlalu malam ya.” atau
sejenisnya.
Bukannya aku sombong
atau tidak peduli padanya, tapi aku hanya tak ingin ia tahu kondisiku sekarang.
Ibuku itu mirip peramal, hanya dengan mendengar suara saja ia sudah langsung
tahu bagaimana keadaanku. Jadi, kali ini aku memutuskan untuk tidak
mengangkatnya agar tidak membuatnya khawatir. Sebagai gantinya, aku nanti akan mengirim
pesan padanya dan mengatakan bahwa aku tadi tertidur.
Maafkan aku Ibu ….
Cukup lama Ibu
mencoba menghubungiku. Butuh sekitar 20 menit hingga ia berhenti menelponku
terus menerus. Setelah memastikan tidak ada telepon lagi, aku pun langsung
mengecek pesan yang hendak kukirimkan untuk ‘cewek itu’.
Sebuah pesan yang
agak panjang ….
Assalammu’alaikum, maaf mengganggu waktumu.
Ini aku … Aldini Raju, teman satu ekstrakulikulermu di sekolah.
Sengaja kusebutkan nama lengkapku, barang kali sampai sekarang kau belum tahu nama asliku karena kau keseringan memanggilku ‘omes’ alias otak mesum daripada nama asliku.
Sekali lagi maafkan aku jika aku menganggu waktumu hanya demi membaca pesanku ini.
Tapi, kau tahu … aku yang notabene jarang bermain kirim-kiriman pesan, khusus kali ini, ingin mengirimkan sebuah pesan. Pesan ini kutujukan hanya untukmu, sebuah pesan penting. Jadi tolong dengarkan.
Aku minta maaf. Tolong maafkan aku!
Itulah hal yang ingin kukatakan, tapi kau pasti binggungkan tiba-tiba mendapat ucapan tersebut tanpa tahu kejelasannya?
Sejujurnya aku juga binggung bagaimana menjelaskannya, tapi jika harus kukatakan ini semacam permintaan maaf karena perasaan bersalah.
Aku meminta maaf padamu karena aku merasa bersalah, benar-benar sangat bersalah. Aku sungguh menyesal.
Jadi, tolong maafkan aku!
Pertama, maafkan aku karena aku ingin keluar dari klub melepaskan segala tanggung jawabku sebagai bendahara secara sepihak. Karena kau adalah wakil ketuanya, jadi tolong sampaikan permohonanku ini kepada ketua. Kau tahu aku dan dia selalu bersitegang, tak mungkin bagiku berani mengatakan hal ini langsung padanya.
Kedua, maafkan aku karena tidak mampu meyakinkan channelku untuk mengangkat naskah kita untuk diadaptasi menjadi animasi. Itu adalah satu-satunya kesempatan untuk menunjukkan eksistensi klub kita. Kau layak menyalahkanku, tidak kau bahkan berhak memarahiku untuk hal tersebut.
Dan terakhir, maafkan aku … aku ingin kau pergi! Pergi jauh sana dan jangan pernah kembali! Jangan tampak di depan mataku lagi!
Begitulah. Tapi yang terakhir itu jelas tidak mungkin, kan? Secara, kita ini masih menghuni satu gedung yang sama.
Jadi sebagai gantinya, akulah yang akan pergi. Aku sudah berencana pindah sekolah ke luar negeri, sekaligus mempersiapkan kuliahku disana nanti.
Namun, sebelum itu biarkan aku sampaikan satu hal penting lainnya.Satu hal inilah yang akan menjadi penutup serta kesimpulan dari pesanku ini.
Aku minta maaf karena sudah pernah menggunakanmu.
****
Oh tidak! Ketika
kubaca ulang, aku baru sadar ternyata pesanku ini sangatlah memalukan, apalagi endingnya
yang sangat ambigu itu. Aku bertanya-tanya, buku apa yang sedang kubaca saat
menulis bagian endingnya itu? Aku sungguh tak bermaksud menyinggung hal-hal
yang menyimpang.
Apa mungkin novel
erotis berkedok romance, ya? Ah, tidak mungkin. Tapi jika memang itu betul,
aku menyesal sudah pernah membacanya. Aku sudah tobat dari dunia kemesuman.
Baiklah, itu
sudah tidak penting lagi. Lebih baik aku lekas menghapus pesan tersebut dan
menyusun ulang kalimat yang tepat dan ‘normal’.
Itulah yang
hendak kulakukan … tapi saat aku baru ingin mengurusnya, pintu kamarku tiba-tiba
digedor-gedor kencang dari luar.
Satu hal yang
pasti, jika melihat dari kekuatannya yang bertenaga, itu pasti bukanlah Karin
yang menggedornya. Ayah dan Ibu, kan, sedang diluar, lantas jika bukan mereka
terus siapa? Apakah itu orang luar? Seperti tetangga, Pak RT, atau bahkan … Polisi?
M-ana mungkinlah
….
Terus kalau
bukan, siapa?
Aku tak ingin
membayangkannya, tapi jangan bilang kalau itu ma-…maling?!
Jika memang itu
maling, lalu bagaimana bisa dia melewati Pak Satpam? Apa yang terjadi pada Si
Mbok? Lalu Karin … bagaimana keadaannya? Apakah ia terluka?
Tanpa berpikir
panjang, seketika aku langsung menuju ke pintu. Kubuka pintu kamar ini, dan
pengait tambahannya yang sebelumnya kukunci rapat.
Setelah bunyi ‘klek’
tanda kunci pintu sudah terbuka, aku baru menyadari bahwa saat ini aku sedang
tak memegang senjata. Yang kupunyai sekarang hanyalah ponsel yang berada di
tangan kananku. Ini gawat, aku tak terlalu pandai dalam hal bela diri. Satu-satunya
andalanku di saat seperti ini hanyalah stunt gun atau tongkat baseball
saja.
Tapi nasi sudah
menjadi bubur. Aku sudah tidak sempat lagi menyiapkannya—juga lupa menaruhnya
dimana. Aku harus menanggung apa yang sudah kuputuskan, serta menghadapinya.
Oke, datanglah
maling! Sini lawan aku!
Dan ketika
mentalku sudah kusiapkan, justru sekarang hatikulah yang sedang diuji.Ternyata orang
yang menggedor-gedor kamarku ini adalah Ayahku. Aku bersyukur. Setidaknya itu
bukanlah maling yang masuk ke rumah ini. Tapi bagaimana bisa? Apa yang Ayah
lakukan di sini? Kenapa dia pulang cepat? Lalu dimana Ibu berada?
“Kau memang anak
yang tak berguna.”
Itu adalah
perkataan Ayahku setelah satu bulan lamanya kita tidak bertemu. Tidak hanya
itu, dia mengucapkan kalimat tersebut setelah terlebih dahulu menamparku
pipiku.
Aku binggung mau
menjawab apa, hatiku sangat terkejut, pipiku juga terasa perih. Bahkan jika aku
sudah berumur 50 tahun, tindakan dan perkataan semacam itu kuyakin pasti
masihlah membuat hati orang yang menerimanya terluka. Mungkin jika orang lemah
yang mendengarnya bisa membuat mereka sampai menangis, tapi untungnya hatiku
tidak selemah itu.
“Aku juga masih
anak-anak, seorang anak SMA yang labil. Aku tak bisa terus menerus berpura-pura
menjadi seorang dewasa yang bijaksana. Aku juga sesekali ingin menjadi anak SMA
yang normal.”
“Sejak pertama
sudah kubilang, saya sangat mengharapkanmu. Selama ini saya berlaku keras
padamu karena saya ingin kau bermental baja. Saya ingin kau sukses, bukan
menjadi lemah kayak begini. Jangan buat saya kecewa cuman karena gadis itu
saja! Cepat lupakan cewek tak berguna itu, dan kembali hidup seperti biasa. Ini
adalah perintah.”
“Cuman? Cewek gak
berguna? Hah …kau tahu sendiri aku selalu menunggu dia 3 tahun lamanya. Aku
sudah mencari keberadaannya kemana-mana. Aku … aku ini … benar-benar rindu dia,
tapi ketika kuberhasil dapatkan kabarnya, ternyata ….”
“Sekarang kau
sudah berani melawan, ya? Jauh-jauh saya balik ke Indonesia hanya karena dirimu,
tapi kau justru tak tahu diri. Dasar anak tak berguna.”
Tanpa disangka-sangka,
tiba-tiba tangan kanan Ayah kembali ‘bermain’. Aku lagi-lagi digampar oleh
Ayahku untuk kedua kalinya dalam kurun waktu yang singkat.
Ah, kepalaku
terasa pusing. Sepertinya saat aku digampar, tubuhku langsung oleng, kemudian
terbentur pintu dan jatuh ke lantai. Aku pun terbujur lemas di atas lantai yang
dingin. Mataku buram, telingaku samar-samar, kesadaranku perlahan menghilang. Aku
seperti berada di ambang antara hidup dan mati (pingsan).
Oh iya, aku baru
ingat. Aku belum makan apapun sejak kemarin. Perutku kosong, energi dalam
diriku pun sudah tak tersisa lagi. Kupikir wajar jika aku berakhir dalam
kondisi seperti itu.
Di saat-saat
seperti ini, tiba-tiba kulihat Ibuku datang berjalan ke arahku. Ia memanggil-manggil
namaku dengan keras. Sepertinya Ia mencoba tetap menjaga kesadaranku dengan
menyahut-nyahut juga menepuk-nepuk pipiku.
Namun, tubuhku
terlalu lemah untuk kembali sadar. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah
berdiam diri menunggu diriku kehilangan kesadaran.
Aku menutup
mataku, tapi aku belum juga pingsan. Sepertinya aku masih memiliki beberapa
sisa energi untuk kugunakan. Tapi, apa yang harus kulakukan? Aku lantas
memikirkan banyak hal. Kira-kira apa ya hal yang tepat untuk kupikirkan di sisa
energiku yang ada ini?
“Aku belum
mengirim pesan kepada dia.”
Betul, itulah
yang sejak kemarin menjadi tujuanku.
Namun, ketika
baru saja ingin mengirimnya, aku sudah pingsan duluan.