![]() |
Salah satu Ilustrasi di Vol 1 |
“Hei,
apakah kau terkadang merasa bahwa dirimu itu tak peduli dengan apapun yang terjadi di dunia ini?”
“Kenapa
kau tiba-tiba menanyakan hal semacam itu? Itu buruk, aku tidak pernah merasa
pesimis sepanjang hidupku.”
“Aku sedang
tidak membicarakan tentang kehidupan pesimis seseorang. Ah, sepertinya ini bukanlah
sesuatu yang cocok dibicarakan denganmu.”
Setelah
mendengar jawabanku itu, Horikita kemudian secara terang-terangan mengubah sikapnya
menjadi jijik, kemudian matanya menatapku aneh, lalu nafasnya dia hela dengan cukup
berat.
“Jadi,
apa yang sebenarnya ingin kau coba bicarakan?”
“Aku hanya
berpikir, apakah arti dari seseorang berjuang keras di dalam dunia yang penuh
dengan meritokrasi ini?”
[TLN: Meritokrasi adalah bentuk pemerintahan
atau administrasi di mana para pemimpin dipilih berdasarkan prestasi atau
kemampuan mereka.]
“Tentu
saja hal tersebut bermanfaat untuk kehidupan ‘mereka’ kelak, apa kau sebegitu
bodohnya?"
“Sampai
berani menghinaku sebagai orang bodoh… Baiklah, kalau begitu aku tanya, kata ‘mereka’
yang kau ucapkan itu mengacu kepada siapa?”
"Bukankah
sudah jelas itu mengacu kepada kualitas dalam ‘diri kita sendiri’, dan tentunya
ini akan di akhiri dengan apakah kita berhasil atau tidak dalam mendapatkan
pekerjaan yang memiliki status tinggi di masyarakat kelak?”
Horikita
menjawab itu seolah-olah itu alami. Tentu saja, bukan berarti aku tidak memahami
apa yang dia maksudkan.
Alasan
utama seseorang pergi belajar ke sekolah dari tingkat SD, SMP, SMA, Universitas,
atau bahkan sampai Pascasarjana adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di
masa depan.
Tentu
saja, mimpi-mimpi yang sedari kecil sudah didamba-dambakan bisa terwujud dengan
selalu berjuang giat juga termasuk di dalam hal ini. Namun, mimpi-mimpi
tersebut hanyalah minoritas kecil belaka, dan mungkin ada juga mimpi-mimpi ambisius
lain yang diinginkan yang mana hal tersebut tidak dapat dicapai hanya dengan cara
berusaha keras saja.
“Kalau
begitu, Horikita, ingin jadi apa kau di masa depan nanti?”
“Aku
belum memutuskannya, karena aku masih samar-samar dengan berbagai macam kemungkinan
tak terbatas yang kumiliki.”
Aku kira
tidak ada lagi orang lain yang bisa menyanjung diri mereka sendiri sebaik yang
dilakukan Horikita.
Tidak
membiarkan orang berpikir bahwa dia hanya memberikan alibi atas fakta bahwa dirinya
belum memutuskannya, mungkin inilah salah satu kelebihan Horikita.
“Apa yang
kau ingin lakukan di masa depan? Aku yakin kau pasti belum memikirkan tentang
itu.”
“Jangan
salah sangka denganku. Bisa saja aku diam-diam memiliki sebuah mimpi yang tak
terduga, iya kan?”
"…Kau
benar. Meskipun kemungkinannya sangat rendah, untuk sementara waktu aku akan
bertanya ulang dengan serius. Apa yang kau rencanakan untuk masa depan? Apakah
kau sudah membuat rencana akan hal tersebut?”
"Aku
ingin menjadi Perdana Menteri."
"...
Aku bodoh karena sudah bertanya padamu dengan serius."
Horikita pun
memegang dahinya, lalu beranjak tuk membelakangiku.
“Hei tunggu, tolong dengarkan aku. Aku hanya
bercanda tentang menjadi Perdana Menteri. Apa yang kuinginkan yaitu sesuatu semacam
Pegawai Negeri.”
"Untuk
seseorang yang senang menghindari hal-hal merepotkan seperti dirimu, impianmu
itu sudah berada di jalan yang lurus... tapi apa kau yakin bisa menggapainya?"
Mendengar
pernyataan dari Horikita, dia jelas-jelas sedang meragukan kemampuan yang aku miliki.
“Menjadi Pegawai
Negeri itu ... itu adalah suatu hal yang secara tak terduga bisa kau raih, jika
dirimu memang benar-benar ingin meraihnya.”
“Seseorang
yang memiliki model pikiran seperti ini biasanya tidak akan berhasil mewujudkan
impiannya. Saranku, lebih baik kau menjadi penjaga minimarket saja disisa hidupmu
yang ada.”
"Perkataanmu
itu sudah seperti mengejek semua penjaga minimarket yang bekerja di seluruh
negeri ini."
“Bukan, aku
tetap menghormati para pekerja minimarket yang memiliki integritas. Hanya saja aku
sedang memikirkan dirimu yang bisa jadi mengalami penurunan. Kau kemungkinan
besar akan menjadi seorang pegawai minimarket yang malas. Aku percaya ini
diluar batas nalarku.”
“Tiba-tiba
aku merasa seperti ingin menangis.”
“Jika kau
benar-benar memiliki mimpi yang ingin kau raih, maka kau perlu memanfaatkan
waktu yang ada untuk melangkah maju sepenuhnya, sekalipun kau masih seorang
pelajar sekarang. Karena meskipun nanti kau mungkin akan menyesal, kau tidak
dapat memutar ulang waktu tersebut. Lalu pada akhirnya, apa yang akan terjadi di
depan matamu adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa diubah.”
"… Aku
akan mengingat itu."
Meskipun aku
dan Horikita berada pada usia yang sama, aku tidak dapat melakukan apa-apa
selain berpikir bahwa aku sedang dinasihati oleh seorang guru.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar