Aku tak terlalu
paham dengan jalan pikiran orang lain, tapi menurutku berlama-lama mengenakan seragam
dua warna itu terasa memuakkan.
Dan sayangnya,
aku sudah berpegang teguh dengan prinsip semacam ini. Tampaknya, sudah cukup
lama.
Berangkat ke
sekolah, kemudian belajar, terus istirahat, lalu masuk belajar lagi, kebetulan
ada jatah makan siang, lanjut belajar lagi, dan sampai akhirnya pulang ke rumah.
Aktivitas sehari-hari disekolah seperti ini bukannya cukup menjenuhkan?
Oleh sebab itu,
aku jadi kepikiran untuk mengubahnya.
Coba kau ingat, apa
dirimu pernah menontonton serial anime yang bercerita tentang problematika anak
sekolahan?
Belajar di kelas,
bertemu gebetan, ujian sekolah, menjalani ekstrakulikuler klub, tragedi bullying,
kenakalan remaja, kisah persahabatan, cinta segitiga, penolakan dan pengakuan isi
hati, arti teman masa kecil, atau bahkan sampai perpisahan yang mengharukan.
Aku menyukainya,
semua.
Maksudku, izinkan
diriku ini menyukai apa yang biasanya anak seumuranku sering gemari. Aturannya,
aku ini juga masih masuk bagian dari mereka, bukan?
Jika harus jujur,
diantara semua problematika itu, ada satu hal yang sangatlah kusenangi (atau lebih
tepatnya iri) saat menontonnya, satu hal yang sangat mencengangkan….
“Protagonist yang
jelek tapi diperebutin oleh banyak heroine yang moe.”
Aku suka bagian
ini.
Ini adalah bagian
terbaiknya.
Bahkan jika aku
mempunyai waktu bebas seumur hidupku, aku mungkin akan memilih untuk menonton anime
yang mempunyai genre cerita seperti ini.
Wajah pas-pasan
cenderung jelek, tingkah plin plan layaknya anak TK, otak tumpul seperti batu, kemampuan
bela diri yang teramat payah, masalah keluarga yang merumitkan, atau bahkan sampai
status ekonomi yang mengkhawatirkan.
Meskipun
begitu, anehnya, hatiku ini tetap bilang bahwa aku masih saja menyukai genre
cerita seperti itu. Aku bahkan memiliki keyakinan yang kuat bahwa masih ada orang
lain yang juga menyukai cerita serupa selain diriku ini.
Jika ditanya
alasannya, terus terang aku pasti akan dibuat kewalahan untuk menjawabnya. Aku sering menganggap
perasaan ini bersumber langsung dari insting alamiku. Karena secara garis
besar, aku merasakan kemiripan nasib antara diriku ini dengan protagonist cerita
tersebut.
Singkatnya, aku kerap
berpikir membayangkan diriku ini berada di posisi tokoh cerita tersebut.
… Dengan kata
lain, aku menyimpan rasa untuk membuat sebuah grup harem!
Wow… tidakkah itu
menarik?
Tapi, kemudian aku
tersadar bahwa itu semua tidaklah masuk akal. Hal seperti itu hanya merupakan sebuah
imajinasi labil dari seorang anak kecil.
Seseorang yang
tidak tahu apa artinya keluarga, tidak berhak mengkhayal memiliki teman yang
baik.
Seseorang yang
tidak tahu apa artinya teman, tidak berhak mengkhayal memiliki sahabat yang
pengertian.
Seseorang yang
tidak tahu apa artinya sahabat, tidak berhak mengkhayal memiliki pacar yang
hangat.
Benar. Seperti
itulah kondisi diriku saat ini.
Ketika aku
menyelesaikan jenjang menengahku dan masuk SMA, tiba-tiba aku jadi merasa
angkuh. Aku menjadi sombong dan mulai melakukan sesuatu yang melewati batas
kewajaran.
Malah sebaliknya.
Daripada bersikap congkak, aku itu harusnya bersyukur karena diriku ini sudah
terbebas dari “tugas-tugasku” yang merepotkan.
Aku harusnya
sadar akan hal itu.
Hei, kau yang
sedang membaca buku ini!
Pernakah kau mengkhayalkan
sebuah dunia fantasi sekolahan berupa surga harem?
Pernahkah kau
membayangkan untuk diperebutkan oleh berbagai jenis tipe heroine yang biasanya
ada dianime dengan personal diri yang tidak begitu menarik?
Pernakah kau
berpikir untuk memilki teman, pacar dan juga keluarga yang harmonis meski kau
tidak mempunyai satupun pengalaman darinya?
Jika pernah, maka
selamat ya!
Ternyata kau itu tak
lain hanyalah sekedar bocah ingusan.
Bersambung, Chapter 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar