Kamis, 09 November 2017

VOLUME 1 CHAPTER 3 - MOBIL HITAM


VOLUME 1 CHAPTER 3

“MOBIL HITAM”

Setelah berhasil kabur dari pertengkaran kecilku dengan Karin, aku pun langsung memacu motorku sekencang-kencangnya agar aku dapat segera sampai di sekolah. Tidak sampai setengah kilometer jarak yang aku tempuh, aku merasakan goyangan aneh pada motor hitamku ini. Aku lalu berhenti dan turun dari motor untuk memeriksa keadaan motorku ini.
 
Brem.. brem

“Sial..! ban motor pake acara bocor lagi..“ desahku kesal.

Bangun kesiangan, bertengkar dengan adik perempuanku dan sekarang ditambah ban bocor? Apa ini hari sialku? Aku tak percaya aku yang selalu merawat motorku ini setiap hari harus mengalami kebocoran ban di salah satu hari yang sangat aku tunggu-tunggu ini.

Aku kemudian mencoba mengamati keadaan sekitarku. Rumah yang berada tepat didepanku ini mencantumkan simbol “Perumahan Griya Wisata” dengan nomor keterangan Blok F-12. Sepertinya aku masih berada didalam komplek perumahanku. Rumahku sendiri berada di Blok D-5.

Aku pun mengeluarkan smartphoneku dan hendak mengecek perkiraan jarak yang tersisa menggunakan bantuan aplikasi Gmaps yang kupasang di smartphoneku.  

Berdasarkan perhitungan dari aplikasi Gmaps, aku tinggal sekitar 200 m lagi untuk keluar dari perumahanku ini untuk sampai di jalan raya. Dan sebagai orang yang selalu mengelilingi komplek ini setiap paginya, aku paham betul setiap jengkal bagian komplek perumahan ini termasuk letak bengkel motor yang ada.

Bengkel motor didekat rumahku hanya ada satu yang mana juga merupakan bengkel motor langgananku untuk menservice motor-motorku. Karena lumayan sering bolak-balik pergi ke bengkel motor itu, aku menjadi cukup akrab dengan mereka. Berdasarkan perkiraan Gmaps, bengkel motor tersebut berada sekitar 500 m dari posisiku sekarang.

Gmaps abal-abal wkwk

Kau boleh tidak percaya, tapi jujur sekarang aku sekarang berada dalam kondisi dilemma antara 4 pilihan. Pilihan pertama yaitu menitipkan motorku di rumah tetangga yang berada di Blok F-12 itu, lalu pilihan kedua yaitu pergi ke bengkel motor di komplek rumahku yang jaraknya 500 m dari posisiku sekarang, lalu pilihan ketiga pergi ke jalan raya yang jaraknya 200 m dari posisiku sekarang dan mencari bengkel motor yang biasanya berlimpah jumlahnya dan kemudian yang terakhir pilihan keempat yaitu pulang kerumahku yang jaraknya tidak sampai setengah kilometer dari posisiku sekarang dan memakai motorku yang lainnya.

[Hhmm]

Aku diam sebentar dan mulai menganalisa baik-buruknya dari 4 pilihan yang ada.
1) Pilihan pertama adalah solusi yang cepat namun sangat beresiko.
2) Pilihan kedua adalah solusi yang tepat namun jaraknya cukup yang harus ditempuh cukup jauh.
3) Pilihan ketiga adalah solusi yang lumayan efektif jika dibanding pilihan kedua, Resikonya pun cukup minimum.
4) Pilihan keempat adalah solusi paling realistik jika tidak mau repot.

“Hmm.. Pilihan mana yang harus kupilih?”

wanj*r kena kage bunshin

[Aku juga penasaran dengan pilihanmu. Jika berkenan mohon respons pada kolom komentar].

Bukan pilihan terakhir, bukan juga pilihan kedua apalagi pilihan pertama. Aku memutuskan untuk memilih pilihan ketiga.

Kau belum benar – benar mengenal karakterku jika kau memilih nomor empat dengan alasan:

“Dia pasti balik ke rumah karena dia benar – benar sayang sama motornya dan tidak mau asal taruh sembarangan motor kesayangannya itu”.

Dan kau juga salah jika memilih pilihan kedua dengan alasan:

“Yah paling dia titipan motornya di tempat tukang bengkel yang dia kenal itu. Kan enak kalau sudah akrab bisa “main mata” jadinya”.

Ini scene paling TS tunggu pas nonton danganronpa :v

Salah. Sekali lagi kau salah besar jika sampai berpikiran seperti itu. Pemikiran seperti itu memang cukup logis untuk dijadikan alasan, tetapi itu berada diurutan setelah pilihan ketiga dan aku jelas tidak akan memilih pilihan pertama karena itu sangat beresiko.

Biar kuingatkan kembali kau bahwa aku ini adalah orang yang memiliki prinsip “Semakin cepat aku sampai ditujuan maka aku akan semakin cepat membaca buku” ketika berkendara. Jadi, pergi ke bengkel motor yang jaraknya lumayan jauh untuk aku tempuh bukanlah opsi yang sesuai dengan prinsipku.

Dengan mengambil jarak tempuh yang hanya 200 m dengan bonus opsi pilihan jumlah bengkel yang banyak (dijalan raya depan perumahanku sangat banyak bengkel motor bertebaran) maka pilihan ketiga seperti menjadi pilihan yang paling menggiurkan dalam kondisiku saat ini.

Seperti yang kau ketahui aku menyukai John -nama motor hitam yang sedang kupakai- dan aku tidak akan pernah meninggalkannya disembarang tempat. Aku juga enggan untuk pergi ke sekolah dengan motor lain selain John. Jadi, pilihan ketiga ada pilihan yang paling realistik bagiku dalam kondisiku saat ini.

Dengan memilih pilihan ketiga maka aku dapat segera menservice ban motorku dan aku juga dapat berangkat sekolah dengan motor kesayanganku ini. Setidaknya itulah rencanaku.

Sial! kok tutup cok

Sayangnya… aku lupa bahwa hari ini adalah hari kesialanku. Setelah aku sampai dijalan raya bengkel motor memang banyak, tapi mereka semua ternyata belum buka.

“Wahai pemilik bengkel motor dan tempat usaha lainnya, apakah kalian tidak mengetahui prinsip semakin cepat kau buka usahamu maka akan semakin untung usahamu?” desahku kesal.

Aku pun menyerah dan pasrah terhadap nasib sialku ini. Aku lalu memasang standar pada motorku sehingga motorku menjadi tersangga dan aku pun menyandarkan tubuhku yang cukup lelah karena harus berjalan sambil mendorong motor hitam yang berat ini pada bagian body motornya.

Dalam posisi tersebut, aku terus memutar-mutar otakku untuk memikirkan apa rencanaku selanjutnya untuk mengatasi permasalahan yang saat ini sedang kualami.

Saking sibuknya aku berpikir, aku sampai tidak sadar bahwa ada sebuah mobil hitam berkilau sedang berhenti tepat di depanku. Aku baru menyadari keberadaan mobil ini saat mobil tersebut membunyikan klaksonnya.

“Ahh.. mobil ini” gumamku dalam hati.

Mobil hitam

Aku tahu mobil hitam berkilau ini. Mobil ini adalah mobil yang biasa aku lihat di depan rumahku ketika aku hendak mengeluarkan John. Orang yang biasa menaikinya selalu memakai setelan jas hitam dan ditemani oleh sopir pribadinya untuk berangkat. Mobil yang hanya dapat kulihat di waktu pagi hari saja. Benar.. mobil ini adalah mobil ayahku.

Kau tahu MatahariMall, Parsley, Carefour,  atau pusat perbelanjaan terkenal lainnya? 

Ayahku adalah seorang direktur perusahaan dari Centriz Group, perusahaan yang sedang naik daun yang menggeluti berbagai bidang usaha seperti Shopping centers, Department stores, Rumah makan bahkan Hotel. Bisa dikatakan ayahku ini adalah orang hebat yang sangat sukses dalam karirnya.

Tapi bagiku, ayahku ini tidak lebih hanyalah seorang pria yang workholic

Namanya Tamrin

Jujur saja aku jarang sekali bertemu dengannya baik dirumah atau di tempat lainnya karena ayahku ini selalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia berangkat ketika hari masih pagi dan pulang ke rumah ketika malam sudah cukup larut. Pertemuanku dengannya dalam seminggu bahkan dapat aku hitung dengan jariku.

Jendela mobil perlahan mulai turun sehingga aku dapat melihat wajah ayahku yang sedang duduk dikursi belakang dan Pak Budi yang sedang menyopir.

Setelah kaca jendela mobil benar-benar terbuka, ayahku pun kemudian langsung menoleh kearahku dan berkata:

“Kau, motormu kenapa? Bocor?” tanyanya dari dalam mobil.
“Iya bannya bocor” jawabku jujur.

Sebagai seorang workholic, aku heran kenapa ayahku masih saja sempat - sempatnya menyisihkan waktunya untuk berbicara kepadaku.

Dia diam sebentar seperti memikirkan sesuatu kemudian kembali melanjutkan perkataannya.

“Pak Budi, saya minta tolong motor Aldi diservis pak.. ”.

Wow aku tidak percaya ayahku yang super sibuk ini mau membantuku.

“.. Kemudian kalau sudah selesai motornya langsung diantar ke sekolahnya. Mobilnya biar saya saja yang bawa” jelas ayahku dengan tegas.
“Baik, Pak Tamrin -nama ayahku-”.

Aku hanya terdiam ketika Pak Budi -sopir pribadi ayahku- mulai mendorong motorku menuju bengkel motor terdekat yang sepertinya sudah buka.

Pilihan kelima : Menelpon orang rumah dan meminta bantuan.

Telpon gak ya?

Aku sudah memikirkan adanya opsi tersebut bahkan sejak awal ban motorku bocor. Namun resiko yang harus kutanggung adalah aku harus mempertaruhkan hubunganku dengan ayah dengan meminta bantuannya. Jujur hubunganku dengan ayah tidaklah sebagus yang kau perkirakan.

Setelah Pak Budi pergi, ayahku pun langsung keluar dari mobil dan segera menuju ke pintu depan mobil untuk duduk dikursi pengemudi. Setelah berada didalamnya, dia bertanya sesuatu kepadaku yang masih berada di luar.

“Kau.. mau masuk atau tidak?” tanya ayahku tanpa melihat kearahku.

Ini dia.. ini sifat ayah yang selama ini kuketahui. Mata tajam, raut muka serius dan kata-kata pedas yang keluar dari mulutnya. Melihat sikap dia tadi yang sok-sokan baik dengan menolongku membuatku menjadi jijik.

Apa kau liat-liat?
 
“Kuharap kau bisa cepat putuskan karena ayah cukup sibuk”.

Bisa dikatakan bahwa hubunganku dengan ayah tidaklah cukup bagus bahkan aku cenderung untuk membenci ayahku ini. Tapi, aku tak mau dia sampai membenciku. Cukup aku saja yang membencinya.

Maka ketika dia bertanya suatu hal kepadaku, aku harus benar-benar memikirkan jawaban yang tepat. Jangan sampai jawabanku membuat dia malah jadi membenciku”.

“Sepertinya jalanan macet, aku naik bis saja” jawabku tegas.
“Baiklah.. ” jawabnya sambil memacu mobilnya bergerak.

Meskipun aku cenderung membenci ayahku tapi rasa benciku tidak sampai ketaraf ingin memusuhinya. Hal-hal seperti menunggu dia pulang kerja atau mengingatkannya agar lebih memperhatikan kami aku rasa tidak perlu sampai kulakukan.

Aku bukan anak kecil lagi yang akan marah jika tidak diacuhkan. Aku sudah cukup besar untuk memahami hakikat bekerja dan segala konsekuensinya. Toh, ayahku selama ini bekerja keras semuanya demi kami juga.

Apa makna dewasa?

Aku menolak ajakannya juga bukan karena aku memusuhinya. Aku hanya tidak ingin berada didalam posisi canggung ketika nanti berada didalam mobil. Tapi itu bohong..

Jika aku hanya berduaan dengan ayahku maka yang selalu ia bicarakan adalah tentang masa lalu kelamku. Jadi, alasan sebenarnya aku menolak ajakannya barusan karena aku tidak mau dia mengungkit-ngungkit masa kelamku saat kami hanya berduaan.

[Haaa]
Sepertinya aku cukup lama bermonolog. Baiklah bagaimana jika semua ini segera kuakhiri? Aku sudah tidak sabar ingin segera membaca buku.

Setelah ayahku pergi, aku lalu bergegas menuju halte bus yang berada cukup dekat dari posisiku sekarang. Aku berharap dengan sisa waktu yang kumiliki ini aku masih dapat tiba di sekolah tepat waktu. Setidaknya biarkan aku berharap hal baik akan terjadi padaku walaupun hari ini adalah hari sialku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar